Relasi Kuasa Dalam Fenomena Bullying di Sekolah
DOI:
https://doi.org/10.30656/senama.v1i.1Keywords:
Bullying, relasi kuasa, Pendidikan, emansipatorisAbstract
Maraknya bullying atau perundungan di sekolah merupakan sebuah ironi yang memprihatinkan. Sekolah sepertinya masih belum terbebas dari praktek-praktek kekerasan yang melibatkan relasi kuasa antara pihak yang dominan dengan pihak yang dianggap sebagai sub ordinat. Masih terdapat budaya patriarkhi yang memandang pihak perempuan sebagai kelompok lemah di satu pihak di hadapan laki-laki sebagai yang memiliki keunggulan di pihak lain. Demikian juga masih terdapat budaya feudal yang memandang kelompok yang memiliki status sosial tertentu dianggap lebih hebat dan berhak atas privilege dan prestige atas kelompok lain. Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan diharapkan berfungsi emansipatoris, membebaskan dari berbagai praktek relasi sosial yang tidak adil, termasuk bullying tersebut, sehingga sekolah menjadi tempat yang nyaman, aman dan bermakna bagi kehidupan dan tumbuh kembang anak-anak generasi bangsa. Tulisan ini akan melihat akar masalah sosial dari praktek-praktek perundungan di sekolah dihadapkan dengan konsep Pendidikan/kurikulum yang “menekan”. Metode tulisan ini dilakukan dengan penelusuran berbagai literatur, seminar tentang bullying dan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) bersama guru-guru dan siswa-siswi SMPN 3 Kramatwatu, tempat KKM Unsera kelompok 35 tahun 2024 melaksanakan tugasnya. Temuan cukup menarik bahwa praktek bullying merupakan gambaran praktek dari struktur sosial di masyarakat yang tidak adil, seperti patriakhi dan feudalism sebagai gambaran praktek relasi-kuasa yang amat kental dan belum sepenuhnya terbebas dari Lembaga Pendidikan kita. Beberapa rekomendasi muncul agar dapat mengurangi atau mengantisipasi perilaku bullying, yakni memperkuat Lembaga BK (Bimbingan Konseling) di sekolah dan menghadirkan kurikulum yang membebaskan dari belenggu ideologis yang tidak adil selama ini.